Penyelamatan Guri
Guri si gurita merah terlihat murung
sekali. Sudah satu jam ia hanya diam di sudut akuarium. Si Bubun ikan buntal
dan Kepi si kepiting menjadi heran dibuatnya. Biasanya Guri sudah
berjalan-jalan mengelilingi akuarium yang besar itu. Dengan delapan tentakelnya
yang berwarna merah, Guri terlihat lincah saat bergerak kesana kemari. Sejak
Kudal si kuda laut menceritakan sesuatu pada Guri, Guri menjadi murung dan
banyak diam. Akhirnya Kudal mau bercerita pada Bubun dan Kepi.
“Sore
itu Bapak kedatangan seorang tamu. Tubuhnya ceking dan rambutnya gondrong,”
ujar Kudal mengawali ceritanya. Panggilan bapak mereka tujukan pada Pak Ade,
pemilik rumah sekaligus akuarium tempat mereka tinggal selama ini.
“Waktu
itu kalian semua sedang tidur pulas, jadi hanya aku saja yang mendengar
pembicaraan mereka,”
“Lalu?”
sela Kepi dengan tidak sabar. Matanya tidak berkedip menatap Kudal.
“Sabar
Kepi,” Bubun menyenggol Kepi berkali-kali dengan ekornya.
“Jadi
orang yang berambut gondrong itu hendak membeli Guri, teman-teman…” ucap Kudal
sambil menunduk.
“Apa?”
pekik Bubun dan Kepi. Guri terkejut mendengarnya lalu mendekat dengan perlahan.
Mereka berempat lalu berangkulan seakan enggan berpisah.
Menjelang malam, seluruh penghuni
akuarium berkumpul di dekat terumbu karang. Mereka hendak membicarakan nasib
Guri. Kepi ditunjuk sebagai pemimpin rapat.
“Seperti
yang sudah kita dengar, Guri akan dibeli oleh seseorang dalam waktu dekat ini.
Bagaimana teman-teman?” tanya Kepi yang berdiri di samping Guri.
“Mari
kita rundingkan cara-cara untuk menyelamatkan Guri,” usul Kudal dengan
semangat. Semua langsung merapat ke arah Kepi dan Guri. Guri terharu melihat
kepedulian temen-temannya.
“Aku
akan menggigit orang itu,” seru Sisinga si ikan singa.
“Benar,
duri-duri Sisinga amat beracun. Orang itu bisa sakit kepala, muntah-muntah, dan
terganggu pernafasannya,” timpal Kudal.
“Aku
akan menggembung untuk mengagetkannya lalu menusuk kulitnya jika orang itu
masih belum jera juga setelah digigit Sisinga,” Kata Bubun dengan berapi-api.
“Terima
kasih teman-teman. Aku juga punya rencana sendiri,” ucap Guri tiba-tiba. Semua
kembali merapat untuk mendengarkan rencana Guri.
Siang ini tamu Pak Ade memenuhi
janjinya untuk datang. Dia sungguh ingin membeli Guri. Koper berwarna hitam
yang dibawanya penuh berisi uang. Pak Ade sempat diberi tahu sebelum mereka
berdua melangkah menuju akuarium.
“Pak,
saya tidak melihat gurita merah Bapak. Di mana ya? Apa sembunyi?” Laki-laki
berambut gondrong itu mulai merasa khawatir. Keringat mulai membasahi dahinya
yang lebar.
“Oya?
Mungkin sedang di dalam terumbu karang, Pak,” jawab Pak Ade pendek.
“Waduh…
Jangan-jangan dia kabur, Pak?” ucap si tamu sambil mengusap dahinya
berkali-kali.
“Ah,
masa sih Pak?” sahut Pak Ade sambil melongok ke dalam akuarium. Pandangannya
menyapu deretan rumput asam dan rumput jarum di sebelah terumbu karang. Guri
memang tidak terlihat di sana.
“Bapak
belum tahu ya, gurita itu bisa meloloskan diri dengan membuka tutup akuarium,”
terang si rambut gondrong dengan nada tinggi. Pak Ade mulai tidak suka dengan
sikap tamunya itu.
“Saya
boleh melihat ke dalam akuarium,Pak?” tawar si tamu. Pak Ade hanya mengangguk
lalu memberitahunya supaya tidak memasukkan tangan ke dalam akuarium karena berbahaya.
“Jangan,
Pak!” teriak Pak Ade saat melihat si tamu memasukkan tangannya ke dalam akuarium
untuk mencari Guri. Sesuai rencana semalam, Sisinga langsung beraksi.
“Auw!
Sakit!” jerit si rambut gondrong sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.
“Saya
bilang juga apa, Pak. Ikan singa itu durinya beracun,” Pak Ade mendekati
tamunya sambil menyodorkan tissue untuk mengelap bekas gigitan Sisinga..
“Kenapa
sih Bapak ingin sekali membeli gurita saya?” selidik Pak Ade setelah kembali
dari dapur untuk membuatkan tamunya itu susu sebagai penetral racun.
“Gurita
itu hewan yang cerdas, Pak,” jawab si tamu pelan sambil meringis kesakitan.
“Itu
saja?” desak Pak Ade. Ia mulai mencium gelagat tidak baik dari tamunya itu.
“Sebenarnya,
saya mau meminta petunjuk pada gurita itu di acara sepak bola bulan depan.
Kalau menang, saya bisa kaya mendadak,” jawabnya sambil berbisik di telinga
kiri Pak Ade.
“Maksud
Bapak untuk meramal tim mana yang akan memenangi turnamen sepak bola se Asia
itu?” tanya Pak Ade sengit. Pak Ade tidak memberi kesempatan pada tamunya untuk
berbicara lagi. Muka Pak Ade yang putih kini berubah merah seperti warna Guri.
“Maaf,
Bapak salah alamat. Saya tidak akan menjual gurita saya pada Anda. Saya tidak
akan membiarkan salah satu hewan kesayangan saya dimanfaatkan untuk hal yang
tidak baik. Apalagi untuk taruhan!” suara Pak Ade semakin tinggi dan tegas. Si
tamu tidak menduga jika tuan rumah akan marah besar.
“Sabar,
Pak. Kita bisa bicarakan baik-baik. Saya akan tambah uangnya sebanyak yang
Bapak minta,” bujuk laki-laki itu.
“Saya
minta habiskan susu itu lalu pergi ke dokter dan jangan kembali lagi ke sini,”
ucap Pak Ade sambil membukakan pintu rumah. Sorot tajam mata Pak Ade menandakan
kali ini dia berkata dengan sungguh-sungguh. Sang tamu mengambil koper hitamnya
lalu berjalan menuju pintu dengan gontai.
“Hore..!”
seru seluruh penghuni akuarium begitu laki-laki berambut gondrong itu pergi.
“Kasihan
ya, jalannya sempoyongan,” ucap Kudal.
“Itu
baru terkena duriku, belum gigitan Bubun. Bisa-bisa dia langsung terkapar”
sahut Sisinga. Bubun dan yang lain tertawa mendengarnya. Racun tetrodotoxin yang dimiliki ikan buntal
memang mematikan.
“Eh,
mana Guri?” Bubun berenang mengelilingi akuarium.
“Masih
di kolam renang mungkin,” sahut Kepi. Ternyata sebelum tamu berambut gondrong
itu datang, Guri sudah menyelinap keluar akuarium. Ia berhasil membuka tutup
akuarium lalu menyelamatkan diri dengan bersembunyi di kolam renang.
“Itu
dia!” seru Kudal sambil menunjuk Guri yang tengah merangkak dari kolam renang
menuju akuarium.
“Aku
di sini teman-teman!” ucap Guri gembira setelah masuk kembali ke dalam
akuarium.
“Syukurlah
kita bisa berkumpul kembali…” kata Bubun.
“Semua penghuni
akuarium mendekat dan merangkul Guri. Guri menyambut mereka dengan menjulurkan
tentakel-tentakelnya. Semua tertawa riang karena senang